Lebaran, Kekhalifahan dan Kehambaan

Afrizal Qosim
3 min readJun 17, 2019

--

Sepuluh akhir Ramadan, aktifitas puasa—terutama mereka yang berpuasa—berganti pegas, turun melandai. Rutinitas kantor atau aktifitas lain yang menguras fisik dan atau finansial selama dua puluh hari, memasuki minggu akhir hingga lebaran bertempo sedang-sedang saja. Beban hidup duniawi terasa lapang, ketika lebaran menyambut. Hijab beban duniawi yang memforsir jiwa tersingkap ketika lebaran. Hanya kekalutan semacam kericuhan Sarinah 22 Mei yang sedikit mencoreng makna puasa; menahan.

Bersamaan dengan peristiwa itu, kita bisa meneroka populasi kaum fanatik yang membaurkan akal sehatnya dengan kebencian yang semakin meluas. Belum lagi corak kebencian yang ditautkan pada isu-isu sentimen politik yang, sama sekali belum sanggup menyudahi kepedihan sikap patriotik yang mengatasnamakan umat Islam. Alhasil, sikap itu berdampak domino, paling sial sikap itu akan mencoreng marwah Muslim Indonesia secara kolektif. Tragis.

Di lebaran tahun ini, pembicaraan silaturrahmi di rumah-rumah tetangga barangkali tidak jauh dari kontestasi sebelum dan sesudah pemilu. Baik perolehan suara, dinamika politiknya, hingga afilliasi nisbah keluarga pada partai politik tertentu. Tapi seolah-olah tidak terpengaruhi oleh kedua hal itu, lebaran tetap hadir menghangatkan keluh dan terlapangkan dadanya menyambut kerinduan dalam nuansa maaf-memaafkan.

Lebaran sebagai sebuah momentum, barangkali juga bisa dimanfaatkan sebagai ikhtiar kita menyudahi gejala konfliktual politik elektoral tersebut dengan menyadari tugas manusia di bumi. Bahwa manusia tidak hanya memerani kekhalifahannya yang luar biasa belaka, melainkan juga peran kehambaannya yang lemah.
Dua kesadaran itu beroperasi dalam niat menyeimbangkan peran manusia kembali ke fitri (suci). Keseimbangan inilah yang mengejawantahkan sikap toleran dalam melihat situasi dan kondisi apapun. Dari sini pula, refleksi atas kekhalifahan dan kehambaan tadi, kita bisa merasakan kearifan para leluhur kita membudayakan tradisi maaf-memaafkan di Hari Raya Idul Fitri. Ini makna serius dari “kembali ke fitri”.

Bersamaan dengan pelafalan takbir di malam Lebaran nanti, pengakuan penghambaan yang lemah juga fardu diresapi sebagai bagian dari suksesor kekhalifahan manusia yang luar biasa (khalifah fil ardh). Karena itu, pelajaran penting dari lebaran ialah memperdalam pemaknaannya dalam ritus kehambaan. Menghamba berarti mengakui kekerdilan diri dan karena itu sikap keluar-biasaan perlu ditolerir secara lebih teliti. Setelah melewati fase tersebut, manusia akan merasakan pengejawantahan dalam nilai maaf-memaafkan yang intim terhadap orang lain maupun diri sendiri. Siap meminta maaf atau memaafkan.

Selain itu,yang menyertai pula tradisi maaf-memaafkan ini ialah rasa yang menopang sikap untuk mengencangkan kembali—barangkali selama Ramadan, rutinitas seperti; menahan lapar, menahan haus, menahan nafsu, melebarkan ikatan persaudaraan sebab sibuk berinstropeksi diri—ikatan tali persaudaraan dalam balutan kasih sayang (rahmah).
Ikatan persaudaraan yang dihiasi dengan rahmah ini menjadi semacam pancaran teluk di gurun sahara. Dalam artian menarik simpul yang mempererat persaudaraan-persaudaraan sesama manusia. Apabila kesadaran rahmah bisa dicerna dan diseriusi, maka kedangkalan yang mengungkung habituasi manusia untuk menciptakan interaksi sosial dan musyawarah bisa menyudahi kekalutan progres kaum fanatik yang membaurkan akal sehatnya dengan kebencian untuk bubar saja.

Simpul terakhir tentu kerinduan. Bahwa di penghujung Ramadan ini, semerbak bau tanah dan rerumputan kampung halaman menyeruak, meresap dalam angan-angan pikiran yang berkeluh pada hangatnya kenangan masa kecil dan kedekatan dengan sanak keluarga yang selama dua belas bulan berkelut dengan kesibukannya masing-masing. Menghiraukan dan menetap di kota untuk menghindari keributan mudik Lebaran bisa saja dilakukan. Tapi, mudik yang lelahnya bagaimanapun itu tetap ditempuh karena merupakan keharusan.
Menjenguk teman masa kecil yang bercerita tentang pencapaian hidupnya, atau melihat orang-orang tua yang bermain bersama cucu-cucunya, sedang para remaja setia mendengarkan babad kampung halamannya. Demikian itu, pelajaran berharga yang bisa dipetik dari kedalaman berpikir orang-orang kampung. Setelah melalui gejala-gejala politik, kedangkalan menyelimuti raga kita yang gerah.

Karena itu, makna Lebaran sederhanaya hanya akan terwujud melalui luapan emosi kerinduan akan kehangatan keluarga. Sementara beban hidup ditimbun dalam-dalam, keluarga mengobatinya dengan partikel-partikel kebahagiaan yang menstimulasi kebahagiaan secara lebih berarti.

Selamat berlebaran.

--

--

No responses yet